Wednesday, August 27, 2008

surat untuk belahan jiwa

Kepadamu, sang belahan jiwa...

Kutulis surat ini, ketika diriku merasa telah siap dan yakin untuk menyatakan bahwa engkaulah belahan jiwaku... Belahan jiwa, kata-kata indah tanda tautan
hati yang mungkin bukanlah pemasti ikatan resmi atau jodoh. Namun, belahan jiwa, yang pernah membuatku merasakan semua rasa, yang pernah membuatku mengikut
dirimu punya rasa... Kepadamu, kupersembahkan untaian kasih tertulus dari lubuk hatiku yang paling dalam...

Ketika Allah menakdirkan kita bertemu, aku tak pernah menduga kalau aku akan merasai banyak bumbu-bumbu hidup darimu. Ada bahagia, derita, bahkan murka
dan nista. Semua campur aduk jadi satu, berbaur dengan cerita dan peristiwa yang menjadi huruf-huruf perangkai kata dan kalimat dalam cerita kehidupanku.


Kau buat aku tersenyum, kau buat aku menangis. Kau buat aku gembira, kau buat aku putus asa. Kau buat aku mencintai, kau buat aku membenci. Entah yang
mana yang menang, bahkan hingga saat aku menuliskan surat ini. Tapi yang jelas, aku masih dan akan tetap memujamu.

Aku dan hidupku... Mata gaib Allah tentu tahu kalau diriku ini penuh hina dan nista. Mengetahui hal itu, aku bertekad menjadi Aurora bagi semua orang,
bercahaya demi siapa yang butuh pencerahan, meskipun diriku harus menahan derita dan siksa tanpa ada yang mengetahuinya. Aurora, laksana malaikat tanpa
cacat cela, dipuja dan didamba setiap raga yang menginginkan peluk sandar penopang lemahnya nyawa. Namun, ketika aku bertemu denganmu, semua terkuak...

Aurora, yang tak lain hanyalah simbol kekuatan bagi orang lain, ternyata penuh dengan kegelapan dan kepekatan. Entah mengapa, aku seperti mendapat kekuatan
untuk membuka kedok malaikatku di hadapanmu, melepas semua yang ingin kurasa dan ingin kukata. Ketika aku ingin mencinta, tak kuabaikan dirimu sedetik
pun meski aku harus meregang satu-satunya nyawa tak bercadang. Ketika aku murka, tak segan pula aku merobek, mengoyak, dan mencabik dirimu, mungkin karena
aku ingin menjajal apakah engkau adalah malaikat yang sesungguhnya.

Semua telah kita lewati, dan engkau tetap seperti engkau... Aku malu, kututupi wajah dan sekujur tubuhku yang hitam legam dengan pakaian malaikatku. Namun,
aku merasa lega karena akhirnya aku terbebas dari belenggu itu, pakaian malaikat yang laksana sebuah kutuk untuk jiwa yang terhina. Aku, bebas...

Perlahan tapi pasti, aku mulai sembuh dan bersih. Kelembutan dan kasih sayangmu terus membasuh luka dan kesakitanku. Meski terkadang aku harus menahan
sakit manakala aku "terpaksa" harus meneguk ramuan obat jiwa yang terasa "mematikan" bagiku, tapi aku tetap bertahan...

Terima kasih kusematkan pada namamu. Kini, aku merasa "lebih baik" dari sebelumnya. Setidaknya, aku dapat menikmati apa yang kupunya sekarang. Aku tak
lagi harus berlindung di balik pakaian malaikatku, tapi hidup sebagai manusia biasa yang tak luput dari salah dan dosa. Meski hal itu harus mengorbankan
kita berdua, aku bahagia...

Wahai belahan jiwa, kini aku yakin, kalau engkau memang belahan jiwa yang diturunkan Allah untukku. Aku tak tahu apakah nantinya jalan hidup kita akan
bertemu, entahlah... Hanya satu harapku... Seandainya engkau bukanlah jodohku, semoga Allah mempersiapkan hati baru yang jauh lebih kuat untuk menggantikan
milikku yang pastinya akan hancur. Namun, apabila aku memang pasangan hidupmu,akan kumohonkan hidup bahagia untukmu dan aku...

surat ini saya persembahkan untuk dia yang selalu kurindukan...walaupun bukan saya yang menulisnya....tapi ini semua telah mewakili apa yang selama ini tidak pernah bisa untuk diungkapkan melalui bibir yang selalu beku bila bicara dengannya...(nikki)


(dikutip dari:www.raditya.multiply.com)

No comments:

Post a Comment